Senin, 07 Mei 2012

Belum Haji Sudah Mabrur

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah
seorang  penerima  program  Subsidi  Langsung  Tunai  (SLT)  yang  kini  sudah  berakhir.  Yu
Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding
anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu
Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Dia sebatang
kara.  Dulu  setelah  remaja  Yu  Timah  bekerja  sebagai  pembantu  rumah  tangga  di  Jakarta.
Namun,  seiring  usianya  yang  terus  meningkat,  tenaga  Yu  Timah  tidak  laku  di  pasaran
pembantu  rumah  tangga.  Dia  kembali  ke  kampung  kami.  Para  tetangga bergotong  royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu
didirikan  di  atas  tanah  tetangga  yang  bersedia  menampung  anak  dan  emak  yang  sangat
miskin itu.
Meski  hidupnya  sangat  miskin,  Yu  Timah  ingin  mandiri.  Maka  ia  berjualan  nasi
bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri  yang sedang mondok di pesantren kampung
kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup
bertahun-tahun.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara
soal  tabungan.  Inilah  hebatnya.  Semiskin  itu  Yu  Timah  masih  bisa  menabung  di  bank
perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau
datang  ke  kantor.  Katanya,  malu  sebab  dia  orang  miskin  dan  buta  huruf.  Dia  menabung
Rp5.000 atau Rp10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa
setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
Yu  Timah  biasa  duduk  menjauh  bila  berhadapan  dengan  saya.  Malah  maunya
bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
”Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
”O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila
Senin?”
”Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak buru-buru.”
”Mau ambil berapa?” tanya saya.
”Enam ratus ribu, Pak.”
”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?”
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu. ”Saya
mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang
di tangan, cukup untuk beli satu kambing.”
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata-
katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu
Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya lama terdiam
karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
”Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi
Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari
saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat
hendak membeli kambing kurban?”
”Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang
saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.”
”Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.”
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri,
dan  dengan  langkah-langkah  panjang  Yu  Timah  pulang.  Setelah  Yu  Timah  pergi,  saya
termangu  sendiri.  Kapankah  Yu  Timah  mendengar,  mengerti,  menghayati,  lalu
menginternalisasi  ajaran  kurban  yang  ditinggalkan  oleh  Kanjeng  Nabi  Ibrahim?  Mengapa
orang  yang  sangat  awam  itu  bisa  punya  keikhlasan  demikian  tinggi  sehingga  rela
mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji
yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu.
Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji,
namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak
kau  belikan  makanan,  televisi,  atau  pakaian  yang  bagus.  Uangmu  malah  kamu  belikan
kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali
ini  akan  saya  langgar.  Saya  ingin  menikmati  daging  kambingmu  yang  sepertinya  sudah
berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji. Oleh : Ahmad Tohari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagi yang mau komentar silahkan ketik di kolom